Kamis, 28 April 2016

PUISI: Merindu Siang

Merindu Siang

Oleh: Retno Andriani

Rindu ini masih menggeliat, Sayang
Kepada angin berembus menembus jendela siang
Dulu kau bermain di luarnya
Menangis bila kaki beradu onak
Girang pecah berisik, hujan datang apabila
Kau besar sudah, Sayang
Angin itu masih berembus, aromanya masih pula
Siang tiada tangis, tawa tiada pun meski gerimis
Aku rindu berang!
Kau merengek meminta senang di tengah hujan
Kemarin kau datang, Sayang
Sebentar
Kau pergi lagi mencari mimpi
Aku diam
Menimbang, "kapan kau lagi datang?"
Kau sungging senyum seraya hilang

GADIS: Selesai

Selesai

Mungkin sudah memang begini ceritanya. Aku hanya merindu bulan, kemudian bulan akan gerhana dan malam gelap gulita. Tetapi menyerah justru laiknya bunuh diri ketika menganggap gerhana adalah akhir dunia. Maka aku hanya butuh tidur untuk kemudian bangun saat bulan berganti bintang.
____________________
Gadis itu kerap menampik pernyataan yang ada di pikirannya. Cinta, ia tak suka kata itu. Terlalu konyol untuk menjawab 'ya' pada sebuah pernyataan, bukan pertanyaan. Gadis itu pun tak yakin dengan gejala yang timbul sebab sakit ini. Ya, cinta baginya adalah sakit jiwa. Gila.
Cerita ini tak bermula dan berakhir sebelum waktunya. Sama seperti pertanyaan klasik yang membingungkan: telur dahulu atau ayam? Terlalu membuang waktu untuk dapat jawaban. Cerita ini benar-benar persegi empat. Klise.
Gadis itu pasti hanya diam. Terlalu sering ia dipermainkan. Bukan oleh orang lain, Tuhan, ataupun pemuda itu. Ia hanya dipermainkan perasaannya sendiri. Kebodohannya sendiri. Tentu.
Argh, gadis itu bosan menulis. Ia akan berhenti sekarang. Hanya sekarang. Sampai semuanya kembali normal. Kembali pada kebodohan yang sama.