Selasa, 01 Januari 2019

NOVEL: Prolog

Sumber: pinterest


Prolog

Bayu tidak pulang. Waktu itu matahari sudah tergelincir ke ujung barat dan orang-orang mulai menutup pintu. Langit yang kemerahan pun berangsur hitam tanpa permisi. Tapi Bayu tidak pulang. Bayu belum pulang sejak pamit bermain sepeda setelah makan siang dan mengerjakan tugas sekolah. Pak Kades mulai bersungut-sungut marah dan mengetuk pintu rumah teman-teman Bayu satu persatu.

"Saya demam, Pak. Tidak ikut main," ujar Sadun setelah dipaksa menemui Pak Kades oleh ibunya meskipun badannya terasa tidak keruan.

"Saya tadi rencana mau ikut main, tapi sepeda saya bannya bocor, Pak. Tidak jadi," ujar Ismail teman Bayu yang lainnya.

Pak Kades membentak, "Kamu jangan alasan! Biasanya Bayu selalu main sama kamu!"

"Serius, Pak!" Ismail balas membentak. "Ah, maaf, Pak."

Pak Kades langsung melengos pergi tanpa berpamitan lagi dengan bapak Ismail yang sedari tadi melongo menyaksikan anaknya dibentak. Pikirannya kalut. Darahnya mulai mendidih, dalam hati ia berjanji akan menyuruh anak bungsunya itu tidur di luar kalau pulang nanti; supaya merasakan bagaimana enaknya tidur di luar setelah membuat kakinya capek mencari ke sana ke mari keliling desa. Pak Kades melangkahkan kaki pulang ke rumah dengan bayangan anaknya itu sudah di rumah dan berjinjit-jinjit masuk dari pintu belakang. Emosinya semakin menggebu. Pak Kades masuk ke rumah, menggebrak pintu, "Mana anak itu? Suruh ke mari!"

Hening. Tidak ada yang menjawab. Istrinya bengong menatap mata Pak Kades yang penuh amarah. Dua anak perempuannya ikut terkejut dan saling bergenggaman tangan. Anak laki-lakinya yang satu lagi, anak kedua, mendekati bapaknya dengan hati-hati, "Bayu belum pulang, Pak."

Raut wajah Pak Kades berubah seketika. Pucat. Bayu belum pulang. Bayu belum pulang dan tidak ada di dalam desa?

Rumah Pak Kades tiba-tiba ramai. Pak Kades duduk di teras rumah sambil menutupi wajahnya, sementara di dalam rumah istrinya menangis ditemani tetangga-tetangga yang berkunjung. Anak keduanya, Bagus, sudah sejak tadi pergi bersama teman dan tetangga yang lain mencari Bayu. Sudah satu jam sejak kepergian Bagus dan tim pencari, tetapi belum juga ada kabar. Pak Kades menyesal kenapa tadi ia pingsan sehingga tinggal sendirian di rumah bersama perempuan-perempuan yang bercerita banyak dan aneh-aneh.

"Jangan-jangan Bayu dibawa hantu yang di pohon jengkol itu."
"Ah, jangan ngawur, Bu. Mana mungkin. Bayu kan sudah besar, sudah kelas lima, mana mungkin dibawa hantu."
"Lah, yang penting kan masih anak-anak. Dia suka anak-anak, loh. Pernah dulu ceritanya..."

Pak Kades tidak tahan lagi dengan ocehan mereka. Ia bangkit dari duduknya, masuk ke dalam rumah, mencari senter, pergi menyusul anaknya dan tim pencari lainnya. Hati Pak Kades terasa sangat ciut. Ia terus menyebut nama Bayu. Malam semakin gelap dan dingin, sementara tanda-tanda Bayu akan ditemukan semakin tidak mungkin.

____________

Bersambung...