Sabtu, 22 Desember 2018

PUISI: Tiada Satu Hari Ibu

Bersama Mamak 5 tahun yang lalu.

Tiada Satu Hari Ibu

Hari ibu; aksaraku mengimla maaf
Benih kecewa masih kutumbuhkan di atas peluh Ibu yang terlanjur kering
Detak detik waktu ikut merasa berdosa
Berderit-derit memilih lalu

Aku lupa banyak hal, lupa terima kasih,
balas budiku terkadang kian menuntut pamrih,
pula tutur maaf yang sering kali tercekat di jantungku;
menunda acuh demi selain Ibu

Semestinya diriku tiada berlagak pada satu hari ibu
Hari-hari aku lupa Ibu, setiap hari Ibu tidak lupa siapa-siapa
Aksaraku menguap bersama hari ibu
Tidak cukup maaf, tidak cukup terima kasih; aku belum cukup untuk hari ibu, tapi Ibu cukup untuk aku setiap hari

Tiada hari ibu
Seharusnya tiada hari ibu
Ibu dalam hari-hari, hari-hari untuk ibu
Ibu dalam letih, tiada cukup satu hari ibu

__________

Medan, 22 Desember 2018

Kamis, 20 Desember 2018

GADIS: Frekuensi Radio Tanpa Penggemar



Frekuensi Radio Tanpa Penggemar

Sudah lama aku tidak menulis puisi yang prosais atau prosa yang puitis. Sebab kupikir tidak akan ada yang datang lagi setelah patah berkali-kali. Konon katanya kau hanya bisa menulis ketika hatimu bermasalah: resah.

Sebenarnya tidak ada yang mematahkanku. Aku hanya bersusah-ria patah sendiri. Keyakinan untuk memilih hati masih kalah dengan anggapan 'aku tidak pantas memiliki'. Lalu kau datang--tentu saja aku masih berada di keyakinan yang sama--dan membuatku ingin menulis lagi. Aku diselimuti perasaan yang aku sendiri tidak ingin menyebutnya sebagai apa. Cinta? Ini terlalu cepat untuk jatuh cinta. Cinta itu sesuatu yang sakral: tidak bisa kau miliki hanya karena sekali pandang.

Tiba-tiba aku takut. Setelah sibuk memikirkan perasaan jenis apa yang menyelimutiku, aku takut tidak lagi bisa melihatmu. Bukan karena jarak yang terlalu jauh, tetapi karena masing-masing dari kita yang mungkin tidak memiliki alasan apa pun untuk menuju sua. Aku tidak berhak meminta, begitu kau pun sama juga. Lalu aku kembali tidak menemukan alasan untuk menulis, seperti sebelumnya ketika patah sudah usai dan kehidupan kembali ke ruang hampa.

Saat aku masih juga menimbang-nimbang perasaan apa yang pantas kusematkan, aku takut semua sua kita yang mungkin bagimu tidak menarik itu akan menguap begitu saja--mengudara seperti frekuensi radio yang kehilangan para penggemarnya. Sia-sia.

______________
Medan, Des'18