Minggu, 06 Desember 2015

CERPEN: Marini



Marini bukan manusia abnormal bermata tiga. Tubuhnya tidak cacat sama sekali. Jari-jarinya genap sepuluh. Kepala, rambut, kaki, tangan, semuanya lengkap. Ya, layaknya manusia biasa. Tapi entah mengapa Ibu selalu khawatir jika aku berada di dekatnya lama-lama. Aku tidak mengerti sama sekali. Yang aku tahu, mereka punya hubungan yang cukup baik. Bahkan Ibu sering memangkas rambut Marini yang kaku itu tanpa meminta bayaran sama sekali.

Kami bermukim di sebuah desa yang bahkan namanya pun tak tertera di dalam peta kelurahan. Desa yang sangat kecil dengan aroma mistis di dalamnya. Nyaris setiap hari ada saja orang-orang nyasar yang tak tahu ke mana arah jalan pulang. Orang-orang itu mengatakan bahwa jalan yang mereka lewati seolah membentuk lingkaran. Dan roda-roda kendaraan mereka hanya menapaki jalan yang sama secara berulang-ulang. Di belakang rumahku terdapat sebuah sungai yang jarang sekali dikunjungi. Marini ialah satu-satunya orang yang gemar ke sana. Hanya sekedar mencuci pakaian atau bersenang-senang dengan air yang mengalir.

Waktu itu aku masih kecil. Umurku sekitar lima tahun. Tubuhku mungil, kulitku hitam, rambutku keriting. Orang-orang memanggilku dengan sebutan Ganong--sebuah istilah yang digunakan untuk orang-orang berjidat lebar.  Aku berteman dengan tiga orang anak yang tabiat dan kelakuannya hampir serupa. Ibu mereka adalah Marini, tetapi ayah mereka statusnya belum diketahui. Yang sulung namanya Santi, yang tengah namanya Sunti, dan yang bungsu namanya Sinti. Marini dan ketiga anaknya itu sering sekali datang ke rumahku. Apalagi sehabis hujan, ketika aroma bubur kacang hijau menggelitik perut.
***
Yang namanya manusia, entah ia anak-anak atau orang dewasa, pastilah pernah tidak mengindahkan atau mengacuhkan nasihat orang lain. Itulah yang kulakukan waktu itu. Ibuku selalu berpesan di sela dongeng pengantar tidur--biasanya dongeng tentang siluman buaya yang mengincar orang-orang nakal--katanya aku tidak boleh bermain di sungai walaupun hanya di tepiannya saja. Sungai adalah tempat angker ke dua setelah pemakaman. Jika pemakaman merupakan stasiun kematian, sungailah kereta yang akan mengantarkanmu ke stasiun itu. Akan banyak penampakan-penampakan yang nantinya kausaksikan di sungai itu. Dan apa pun yang kaulihat, semua itu akan memengaruhi kejiwaanmu. Begitulah katanya.

Sungai yang kuceritakan ini bukanlah sungai yang lebar. Ia hanya sungai kecil berair keruh. Apa pun yang terjadi di dalam sungai ini tidak terlihat dari permukaannya. Entah sungai itu dangkal, entah sungai itu dipenuhi ikan-ikan Sepat, atau justru sungai itu tempat bagi buaya beranak-pinak. Yah, tidak ada yang tahu fakta apa di balik sungai yang kotor itu. Yang pasti, Ibu selalu melarangku untuk ke situ.

Sore itu Marini dan ketiga anaknya membujukku untuk ikut bersama mereka pergi bermain ke sungai. Awalnya aku menolak. Nasihat Ibu berulang-ulang terputar otomatis di telingaku. Tapi semua itu percuma saja. Rasa penasaran dan bujukan Marini telah memikatku. Aku pun akhirnya mengikuti langkah kaki mereka. Menapaki jalan kecil yang licin dan dikelilingi belukar.

Sesampai di sana, aku sungguh terpesona dengan air yang mengalir deras–-ini adalah kali pertama aku melihat sungai. Enceng Gondong menghiasi setiap bibir sungai. Santi dan Sunti langsung menceburkan diri ke dalam sungai yang cokelat. Mereka berenang dan menyelam tanpa ada rasa ketakutan. Sementara aku hanya berdiri di tepi sungai. Dan di sebelah kiriku, Sinti berjongkok membung hajat. Marini? Ia entah ke mana. Mataku mencari-cari ke segala penjuru arah.

Mataku tertuju pada sosok berjubah hitam tengah berdiri di tubuh jembatan bambu yang terletak tak jauh dari tempatku berdiri. Sosok yang cukup menyeramkan bagi seorang anak usia lima tahun seperti aku. Tetapi tak lama kemudian kulihat Marini menghampiri sosok itu. Letak mereka sangat dekat antara satu dengan lainnya. Entah mengapa tiba-tiba aku teringat dongeng siluman buaya. Seketika itu pula aku langsung menyesal tak mengindahkan nasihat Ibu. Aku melihat sosok itu mulai menerkam Marini, kemudian membawanya jauh dari kami. Marini tak berusaha menyelamatkan diri, seolah ia sudah sangat terbiasa dengan sosok itu.Ketiga anaknya pun mulai bertingkah seperti orang gila. Sungguh, untuk ke sekian kalinya, sebagai anak-anak aku menyesal.

_________________________

Karya: Retno Andriani
Mahasiswi 015, Sastra Indonesia, USU.
Cerpen ini dimuat di tabloid Suara USU edisi 105.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar